Konflik Kekerasan atas Nama Agama


Konflik Kekerasan Atas Nama Agama
Oleh: Dede Jeri Adrian
Indonesia adalah negara demokrasi. yaitu negara yang menerapkan sistem pemerintahan dimana kedaulatan di tangan rakyat. Sistem demokrasi merupakan sistem yang menjadi kesepakatan founding father (pendiri bangsa) saat itu. Hal demikian karena melihat kemajemukan indonesia yang memiliki ragam budaya, agama, bahasa dan etnis yang berbeda-beda. Dengan sistem demokrasi menurut muhammad Hatta dapat merangkul semua kelompok masyarakat yang ada di indonesia.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan pada dunia (Barat Khususnya) bahwa Islam sama sekali tidak memiliki persoalan dengan demokrasi. Perkembangan demokrasi di indonesia mulai dari awal kemerdekaan sampai sekarang sangat signifikan, puncaknya saat Reformasi 1998 demokrasi menjadi kosakata yang dianggap penting dalam politik indonesia. seluruh pranata politik Orde Baru ditata ulang agar segaris dengan nilai-nilai demokrasi.
Namun, perkembangan politik di indonesia tampaknya masih memiliki persoalan, khususnya pada soal praktik hidup masyarakat seperti adanya penolakan satu kelompok masyarakat terhadap keyakinan yang dianggap berbeda atau sesat dan adanya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Nilai-nilai demokrasi yaitu menghargai perbedaan, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama dan berkeyakinan, nampaknya masih minim diterima oleh masyarakat. Padahal kemajemukan sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa indonesia sejak dahulu. Keragaman budaya, agama, bahasa, dan etnis merupakan realitas yang tidak bisa dipisahkan dari hidup bangsa indonesia.
Terdapat disparitas antara nilai-nilai demokrasi dan realitas masyarakat dalam menyikapi kemajemukan dan pluralitas keyakinan. Hal ini dapat kita lihat pada sikap sebagian masyarakat terhadap aliran Ahmadiyah, misalnya; Munculnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kesesatan aliran Ahmadiyah pada 2005.
Munculnya fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama dan keyakinan dapat dilihat dalam tiga bagian: pertama, tindakan yang terjadi di tingkat intenal agama; kedua, tindakan yang terjadi di tingkat antar-agama; ketiga, tindakan yang terjadi di tingkat antara agama dan negara.
Konflik di internal keyakinan atau ketegangan yang terjadi dalam lingkup agama yang masih dianggap sama dapat ditemui dalam kasus ahmadiyah, Alqiyadah, Lia Eden atau pemikiran islam yang dianggap keluar dari garis mainstream. Konflik intra-agama dimulai dari polemik wacana hingga tindakan yang mengarah pada kekerasan fisik. Konflik paling parah terjadi dalam bentuk perusakan tempat ibadah atau pengusiran warga seperti yang dialami warga Ahmadiyah di beberapa tempat.
Sementara perseturuan antar-agama bisanya disebabkan oleh keberatan kelompok mayoritas atas kelompok minoritas yang dicurigai melakukan penyebaran agama (seperti Kristenisasi atau Islamisasi) atau mendirikan tempat ibadah dengan mengabaikan ketentuan peraturan bersama (PerBer Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri). Ekspresi klimaks dari keberatan kelompok mayoritas inni kerap ditunjukan lewat pembongkaran tempat ibadah yang sudah dibangun atau penutupan secara paksa seperti yang dialami gereja-gereja milik umat Kristiani di beberapa daerah.[1]
Selain itu, tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dilakukan oleh aparat negara dan pemerintah. Tindakan ini dilakukan dalam bentuk pelarangan satu keyakinan dan paham keagamaan yang dianggap menyimpang oleh kelompok mainstream. Delik yang sering dipakai untuk memberatkan korban biasanya adalah penodaan dan penghinaan agama tertentu. Hal ini terjadi pada penangkapan dan putusan pengadilan Lia Aminuddin, pemimpin komunitas Lia Eden yang ditangkap atas tuduhan penodaan agama dan penyebaran kebencian.
Kemudian pertanyaannya bagaimana solusi yang ditawarkan terkait dengan tiga model kekerasan atas nama agama?


[1] Terjadi pelarangan ibadah oleh warga setempat terhadap umat Kristiani (GKI/Gereja Kristen Indonesia) di kompleks TNI Angkatan laut, Jl Batam Blok B No 135, Rt 006/010 kelurahan jatibening, kecamatan Pondok Gede, kota Bekasi. Insiden pelarangan tersebut terjadi pada tangga 9 September 2007, pukul 06.30 aksi masyarakat dipicu karena alasan bahwa kegiatan tersebut mengganggu ketentraman umu (Suara Pembaruan, 11 September 2007)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Kaidah Tafsir M. Quraish Shihab

Inilah Hidupku